Halo semua, masih bersemangat menghadapi hidup yang dipenuhi foto-foto, iklan maupun debat-debat mengenai capres dimana-mana? Semoga tetap semangat dan sabar menghadapi semua.. muehehehe...
Bosan dengan hiruk pikuk capres beserta seribu kampanye-kampanye nyeleneh dan aneh baik di sosmed maupun media massa, saya mencoba menulis, curhat juga mungkin, terkait satu hal yang ya pasti dikenal siapapun...
Sebelum hiruk pikuk capres yang cuma 5 tahunan, tiap tahun kita disajikan info-info tentang Ujian Nasional, mulai dari sarapan bersama hingga keberadaannya yang selalu membawa masalah lama maupun baru tiap tahunnya. Mulai dari paketnya yang ngalahin paket di McD sampai teknik kecurangan yang makin asik dibuat semacam film konspirasi.. hahaha... Tekanan UN seolah begitu besar dan begitu penting, menyangkut hidup mati, harkat, martabat dan kerabat sehingga segala cara dihalalkan agar lolos darinya.
Tapi cara-cara lain yang halal juga dilaksanakan demi mensukseskan UN, di level individu tentunya, dengan menambah materi, pemahaman maupun jam belajar dengan mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Tak hanya saat UN saja bimbel diikuti, tapi menjelang Ujian (Nasional maupun masuk PTN) memang biasanya ada program-program khusus, intensif, demi melenggangkan putra-putri anda menuju kesuksesan.
Sebagai seorang pelajar, dua kali saya mengalami UN (SMP dan SMA) dan sekali ujian masuk PTN. Yang mainstream adalah, baik saat SMP maupun SMA banyak dari teman-teman saya mengikuti salah satu bimbel yang ada di Jogja. Dikenal sebagai kota pelajar, tak hanya banyak sekolahan maupun perguruan tinggi saja, jumlah bimbel di Jogja juga tidak sedikit. Paling tidak ada The Big Four yang (menurut saya) selama ini dipilih yakni Primagama, SSC Intersolusi, Neutron dan Ganesha Operation. Meski sebenarnya ada juga bimbel yang lain tapi yang di parkirannya banyak motor biasanya keempat bimbel itu. hehe..
Layaknya orang tua lain, orang tua saya juga menawari apakah tertarik ikut bimbel atau tidak. Waktu SMP kelas 9, menjelang ujian, saya berfikir buat apa ikut bimbel lha wong materi nya saja gampang-gampang kok sebenarnya (sombong). Toh di sekolahan juga sudah ada les tambahan. Tetapi karena tertarik ingin tahu rasanya belajar di bimbel, akhirnya saya coba ikut namun hanya pada semester 2. Saya akhirnya memilih Primagama dan ya saya rasa bedanya cuma belajar pake AC dan tidak pakai seragam saja.
3 tahun berselang, tawaran yang sama datang. Apalagi SMA tidak cuma UN saja ada pula SNMPTN tulis (diriku waktu itu ga masuk undangan :P), jadi beban "sepertinya" lebih berat. Namun kali ini tawaran saya tolak bukan karena materinya gampang (SMA mah nyebelin materinya) tapi karena pemikiran kenapa harus buang-buang duit demi bimbel? Sebegitu tidak mampunyakah sekolah menyediakan pendidikan untuk menghadapi itu semua? Atau apakah saya benar-benar sebodoh itu sehingga harus menyia-nyiakan duit orang tua untuk memperkaya para pemilik bimbel itu? (huahahaha)
Yang menggelitik selanjutnya mengapa banyak sekali teman-teman saya yang ikut bimbel? Mengapa bimbel seolah menjadi senjata ampuh ketika ujian tiba? Mengapa teman-teman tampaknya lebih senang membawa modul bimbel daripada buku pelajaran? Mengapa cara-cara bimbel lebih disukai Padahal banyak diantara mereka yang lebih pintar dari saya. Pertanyaan-pertanyaan tidak penting ini justru lebih menarik untuk saya telaah dan jawab daripada pertanyaan mau kuliah dimana. Bahkan setelah kuliah beberapa tahun pertanyaan itu masih menggelitik.
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca twit-twit dari Kreshna Aditya (@kreshna) pendiri @bincangedukasi, salah satu pemerhati pendidikan Indonesia. Beliau menuliskan tentang bagaimana pendidikan di Korea Selatan, yang dikenal sebagai salah satu yang terbaik, "dikuasai" oleh bimbel-bimbelnya. Di Korea, pelajarnya dikenal sangat intens sekali belajar. Sangat jarang sepertinya bagi mereka untuk bebas bermain-main layaknya pelajar Indonesia. Di sana bimbel yang dikenal dengan Hagwon dianggap salah satu solusi terbaik untuk membuat anak menjadi pintar. Kepercayaan terhadap bimbel bahkan melebihi sekolah. Tingkat kepintaran anak seolah bisa dilihat dari bimbel mana yang diambil. Ada salah satu Hagwon yang sangat diminati (aku lupa namanya) dan dianggap sebagai yang terbaik. Tentunya biaya untuk menerima bimbingan mereka mahal harganya.
Lalu apakah hal itu terjadi di sini di Indonesia? atau simpelnya di Jogja, tempat saya berada? Kenyataan kita lihat banyak diantara teman-teman atau adek-adek kita yang orang tuanya rela merogoh kocek lebih dalam untuk bimbel. Memang tidak salah, memang ada diantara kita yang memang membutuhkan bimbel tetapi mari dipertimbangkan lagi. Banyak yang mengecam biaya sekolah mahal, buku-buku pelajaran mahal, "peralatan" sekolah mahal tapi kalau memasukkan anaknya ke bimbel menurut saya anda mengkhianati kecaman anda. Kapitalisme pendidikan tidak hanya di sekolah, tapi nyata terlihat pada bimbel. Untuk mengikuti program bimbel jelas harus membayar. Katakanlah rata-rata bimbel yang punya menetapkan tarif 2 juta, misal yang ikut kelas ada 20 orang total uang sudah 40 juta, belum jika ada 3 kelas misalnya menjadi 120 juta. Jika itu didapat dalam 1 tahun, dalam tiga tahun saja sudah hampir setengah miliar. Sebuah bisnis menggiurkan. Sebuah bisnis yang membawa pendidikan di dalamnya.
Memang bimbel memberikan lapangan pekerjaan, namun melihat keuntungan yang begitu besar bukan tidak mungkin yang terjadi di Korea akan terjadi di Indonesia. Namun perbedaannya, jika di Korea pelajarnya dikenal studyholic (tergila-gila akan belajar?) di Indonesia pelajarnya dikenal baru gerak kalau ada apa-apa. Baru mulai intens kalau mau ada ulangan, baru cari catatan sana-sini kalau mau ujian, baru mencari bimbel di kelas 12 kalau mau masuk perguruan tinggi yang diinginkan. Kecenderungan peserta bimbel adalah pelajar-pelajar yang galau akan ujian nasional maupun PTN. Meski saya tidak punya datanya tapi bisa dilihat bahwa banyak program yang ditawarkan, yang spesial spesial pakai telor terutama, terkait dengan UN maupun SNMPTN atau apapun lah namanya yang terus berganti layaknya anak alay yang ganti-ganti PP.
Hal yang wajarkah ini? sebagai orang yang percaya bahwa pendidikan ini milik semua dan tidak pantas diuangkan saya katakan tidak. Ada yag salah disini. Lebih tepatnya fenomena bimbel yang saya paparkan adalah buah dari ada kesalahan pendidikan di negara kita. Teringat stand up Pandji Pragiwaksono "Mesakke Bangsaku" yang menyinggung tentang standarisasi pendidikan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa bimbel akhirnya diagung-agungkan. Standarisasi, yang diterapkan dengan mengadakan UN membuat pelajar mau tidak mau harus mencapainya. Kembali ke paragraf awal ada yang menggunakan cara buruk ada juga yang baik. Yang "baik" ini bisa saja masuk ke bimbel. Baik saya tandai karena ada indikasi serupa dengan yang terjadi di Korea. Kepercayaan terhadap sekolah memudar, padahal sebenarnya dari pihak sekolah sendiri juga sudah mengadakan les tambahan, yang menyita waktu bermain dan bereksplorasi para pelajarnya. Padahal dari yang saya alami, les tambahan dari sekolah sudah sangat cukup untuk membantu sukses UN. Menambah dengan bimbel hanya akan menambah otak dengan racun-racun karena semakin berkurangnya waktu rehat dan belajar dari luar kelas atau sekolah. Kembali ke stand up Pandji, diceritakan bahwa di Finlandia sekolah memberikan waktu belajar dalam kelas yang lebih sedikit dan lebih membebaskan pelajarnya untuk belajar hal-hal di luar kelas. Yang perlu digaris bawahi disini Finlandia adalah negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Standarisasi juga memberikan tekanan kepada banyak pelajar. Bagi mereka yang mentalnya belum kuat bisa mengikis kepercayaan diri mereka, bahwa sebenarnya mereka bisa. Ini menjadi celah bagi bimbel dengan iklan-iklannya yang memberikan jalan terang bahwa mereka bisa memberikan keberhasilan dalam waktu singkat. Sistem UN juga menginginkan pelajarnya untuk berhasil dalam ujian yang singkat, hanya seminggu. Memikirkan tentang PTN pun biasanya pas kelas 12 saja, singkat. Klop ! Sama-sama singkat ! Akibatnya bimbel menjadi semacam encouragement bagi pelajar yang sebenarnya bisa tanpa harus mengeluarkan uang untuk bimbingan.
Tradisi belajar kelompok, yang sebenarnya lebih murah bahkan gratis, sayangnya mulai berkurang. Teman yang pintar justru dijadikan sumber contekan. Memang tidak semua tetapi tidak jarang kasus seperti itu kita temui di media, atau malah kita alami sendiri. Belajar kelompok, atau mentoring antar teman merupakan perwujudan bimbel yang sebenarnya, yang gratis, menurut saya menjadi salah satu cara efektif untuk menghadapi ujian semacam UN. Cukuplah uang kalian dibelikan untuk membeli soal-soal atau malah cukup download di internet atau minta pada guru, atau minta soal pada teman kalian yang terpaksanya ikut bimbel. :v Atau mungkin cara yang dilakukan almarhum guru Fisika saya sewaktu SMA dulu bisa dilaksanakan. Beliau menawarkan pada kami selaku muridnya, konsultasi materi pelajaran, semacam bimbingan belajar, yang dilaksanakan di rumah beliau. Saya tidak pernah mengikutinya tapi seingat saya ini gratis. Banyak diantara teman-teman saya yang datang ke rumah beliau walaupun sudah ikut bimbel berbayar (nah loh). Pendidikan seperti inilah yang menurut saya pantas ditiru, pendidikan yang tidak mementingkan dibayar atau tidak.
Panjang lebar saya bicara, sudah tentu ada yang setuju atau tidak. Tidak masalah tetapi yang ingin saya sampaikan adalah tetap percayalah pada diri sendiri, tak perlu keluarkan uang sia-sia demi mencapai sesuatu yang sebenarnya teman-teman bisa capai dengan gratis. Banyak jawara-jawara kelas semasa sekolah saya dulu yang tidak ikut bimbel. Kalau mereka bisa kenapa tidak? Saya yakin jawara-jawara kelas yang teman-teman kenal juga mau membantu anda, jika anda kesulitan, jadi kenapa harus ke bimbel? Dengan bertanya kepada teman bukankah itu juga membantu teman anda untuk evaluasi diri? Simbiosis mutualisme kan? Pikirkan kembali sebelum masuk bimbel, uang orang tuamu lebih baik untuk hal yang lain bukan? :)