Senin, 09 Maret 2015

Lagu Anak Kemana ? Mungkin Sedang Main Petak Umpet


(sumber foto : http://www.kapanlagi.com/intermezzone/rindu-dengan-trio-kwek-kwek.html)


Sesuai dengan Keppres No. 10 tahun 2013, 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional. Keppres ini tentunya membanggakan, karena akhirnya musik, yang menjadi salah satu produk budaya paling digemari di Indonesia, dihargai oleh pemerintah dengan dibuatkan hari khusus. Meski saya juga tidak terlalu mengerti apa esensinya.

Ya, rasanya musik tidak akan pernah bisa lepas dari masyarakat manapun di dunia ini. Indonesia sendiri dengan ribuan suku, memiliki musik khasnya sendiri. Namun bukan musik tradisional yang akan dibicarakan kali ini, musik, lagu utamanya, yang agak lebih luas, namun sebenarnya beririsan dengan musik tradisi juga.

Melihat gambar di atas, anda-anda yang pernah hidup di Indonesia pasti tidak asing. Trio Kwek-Kwek, grup vokal anak-anak yang tahun lahirnya sama dengan saya ini merupakan salah satu grup yang sangat fenomenal saat itu, tak kalah dengan grup maupun penyanyi dewasa. Grup yang beranggotakan Dhea Ananda, Affandy, dan Leony ini sudah memenangkan banyak penghargaan bergengsi, seperti dari Anugerah Musik Indonesia (AMI) maupun Panasonic Awards. Lagu-lagu mereka seperti "Katanya"ataupun "Jangan Marah" masih begitu lekat hingga sekarang, apalagi yang tumbuh sebagai anak-anak di era 1993-2000-an. 

Selain Trio Kwek-Kwek kita kenal juga penyanyi cilik lain seperti Joshua Suherman, Trio Saskia-Geovani-Angie, Chiquita Meidy, Maissy, Agnes Monica, Bondan Prakoso, hingga Tasya dan Tina Toon. Di era itu (era saya kecil) anak-anak mendapatkan tempatnya yang sesuai, karena penyanyi cilik saat itu menyanyikan lagu yang "sesuai" dengan umur mereka. Namun perlahan, semenjak 2003-an, setelah Petualangan Sherina tayang dan Peterpan (sekarang NOAH kalau ga tau) mulai booming, menurut saya lagu-lagu anak mulai kehilangan popularitasnya. 

Nah nah nah, ini lagu anak-anak pada kemana? Mungkin sedang main petak umpet. Yak judul postingan ini tidak sekedar judul, tapi adalah sebuah harapan. Dalam permainan petak umpet tentu saja yang bersembunyi nantinya akan muncul walaupun pada akhirnya tidak dapat ditemukan oleh yang jaga. Ini pula yang saya dan banyak orang lain harapkan, yakni lagu anak keluar dari persembunyiannya, tentu keluar yang tidak sekedar sembunyi lagi.

Kembali mencoba menjawab pertanyaan kemana, yang jelas bukan karena alamat palsu. Lagu anak-anak "menghilang" bukan karena sebab. Menurut pemahaman saya ada beberapa hal yang membuat lagu ini masih nyaman dalam persembunyiannya.

"Peterpan" menjadi alasan nomor satu. Loh kok, apa salah band satu ini? Bukan band-nya yang saya soroti, tetapi kemunculan dan tenarnya Peterpan menandai era budaya populer, dalam hal ini lagu pop, bangkit dan demamnya menyerang banyak khalayak, termasuk anak. Kemunculan lagu-lagu pop yang se-easygoing lagu anak diterima dengan baik oleh masyarakat. Ini didukung dengan semakin kuatnya media, terutama televisi pada era setelah Orde Baru. Televisi begitu merebak, dengan semakin berkembang dan munculnya saluran-saluran televisi swasta baru. Seiring dengan semakin banyak pula yang memiliki televisi, maka akan semakin mudah bagi para pelaku industri ini untuk mendapatkan konsumen. Musik pun menjadi salah satu pilihan utama selain sinetron.

Di awal-awal 2000-an, sebenarnya televisi masih mempertahankan acara anak yang menayangkan lagu-lagu anak seperti "Ci Luk Ba (SCTV)" atau "Tralala-Trilili(RCTI)". Namun seiring berjalannya waktu, televisi pun lebih memilih acara kartun/anime sebagai pilihan untuk tayangan anak. Tempat untuk musik pun akhirnya hanya diisi oleh musik-musik untuk kalangan remaja (dan dewasa). Gawatnya, anak-anak merupakan salah satu konsumen utama televisi, seringkali akhirnya juga harus mendengar lagu-lagu itu. Ya berhubung tidak dilarang juga oleh orang tuanya, dan tak ada pilihan lagu lain, akhirnya mau tak mau ya mendengarkan, akhirnya suka dan akhirnya beli VCD/DVD bajakannya (eh).

Nah, disinilah "petaka" dimulai. Televisi menawarkan produk dan konsumen masih belum terliterasi dengan baik sehingga menerima begitu saja. Akibatnya permintaan dari konsumen tidak terlalu berbeda jauh dengan apa yang selama ini ditawarkan, atau dengan kata lain tidak ada "perlawanan" dari konsumen terhadap konten yang ada. Disinilah alasan-alasan lain yang "menyembunyikan" lagu anak mulai bermunculan. Alasan kedua adalah uang atau keuntungan. Sebenarnya agak bingung juga harus menempatkan uang atau kebangkitan lagu pop di alasan paling awal. Tapi berhubung saya berbaik sangka bahwa mereka (para musisi macam Peterpan dkk) berkarya bukan untuk mencari uang semata maka saya tempatkan di awal (:P). Kembali ke masalah uang, ini tentunya berkaitan dengan rating acara. Asumsi saya, rating acara yang "murni" untuk anak kalah dibanding dengan acara musik remaja yang ditonton hampir semua kalangan. Industri pun akhirnya lebih memilih untuk mengembangkan acara semacam ini dibanding menyelenggarakan acara anak, yang butuh biaya tapi incomenya tak seberapa. Akibat lanjutannya, mereka, para pencipta lagu anak pasti juga akan berpikir realistis, darimana mau dapat untung kalau ruang untuk menampilkan karya mereka. Radio? Sulit bagi radio untuk menyaingi kehebatan televisi. VCD/DVD? Yang bajakan lebih diminati. Lalu buat apa bikin lagu anak? Demi idealisme? Idealisme katanya hanya milik anak muda, sedangkan anak muda sudah punya lagunya sendiri.

Kemana para pencipta lagu anak yang dulu top itu? Mencoba menelusuri salah satu pencipta yang sangat terkenal yaitu Papa T. Bob, berita yang saya dapat agak mengecewakan. Pencipta yang sudah melambungkan banyak artis cilik ini pada tahun lalu dilaporkan karena kasus penipuan. Perjudian pun dikaitkan dengan kehidupan beliau. 

Industri media, terutama entertainment merupakan industri yang tidak pernah menjanjikan kepastian. Dalam artian bisa jadi suatu saat akan sangat terkenal, di waktu lain tak dianggap layaknya butiran debu. Untuk bertahan di industri seperti ini "kaderisasi" nampaknya juga menjadi hal yang penting. Namun baik di politik maupun musik, "kaderisasi" bukan hal mudah. Apalagi seni adalah masalah rasa, atau banyak yang bilang masalah bakat.Untuk hal ini rasanya saya setuju. Siapa yang tidak gatal mendengar para artis yang sok-sokan bisa nyanyi padahal suaranya .......  Disitu kadang saya merasa sedih.

Begitu pula untuk kasus lagu anak, "kaderisasi" masih belum berjalan dengan baik. Akan tetapi sebelum bicara lebih lanjut akan saya bahas dulu mengenai alasan ketiga yakni orang tua. Tidak bisa dipungkiri yang paling dekat dengan anak-anak adalah orang tua. Mereka lah yang mengenalkan banyak hal ke anaknya, termasuk lagu.  Tak hanya sekedar mengenalkan namun juga mengawasi. Di era pasca krisis moneter, asumsi saya, orang tua banyak yang banting tulang untuk mencari uang, setelah dilanda krisis pada 1997. Akibatnya : punya duit lebih --> bisa beli televisi --> makin sibuk nyari duit --> anaknya kurang diperhatikan dan diawasi. Sekali ini hanya asumsi saya berdasarkan kasus umum. Nah orang tua pun akhirnya juga kurang dekat dengan anak sehingga kurang mengenalkan pula lagu-lagu yang pantas mereka dengar dan nyanyikan. Atau mungkin mereka dekat dengan anak, menemaninya menonton televisi, tetapi membiarkannya mengenal lagu-lagu yang kurang pas bagi anak. Atau lagi, orang tau akan hal itu, tetapi tetap merasa cuek, tetap merasa tidak perlu mempermasalahkan media yang tidak memberi ruang bagi anak. Hal seperti ini saya kira wajar, mengingat pada saat itu Indonesia baru saja mengenal demokrasi, mengenal kebebasan berpendapat, setelah sebelumnya hidup di era ketebasan berpendapat, kalau berpendapat aneh-aneh ya di tebas.

Orang tua pun lebih untuk menuruti keinginan anaknya. Akhirnya kalaupun anak minta VCD kartun plus satu album Peterpan atau Ungu ya ga masalah, meski umurnya masih 10 tahun. Yang penting anak senang orang tua bisa tenang cari uang.

Kalau hal seperti terus berlangsung, sampai ibukota Indonesia pindah pun lagu anak akan terus sulit mendapatkan kembali tempatnya. Kabar gembira untuk kita semua, angin segar sedikit mengalir di masa-masa sekarang ini, ketika masyarakat sudah lebih terdidik untuk mempertanyakan tayangan yang mereka tonton. Upaya untuk mengembalikan ruang bagi lagu-lagu anak mulai digiatkan. Sekarang banyak kita temui acara-acara semacam pencarian bakat yang diikuti oleh anak. Gamblang saja dulu pernah ada AFI Jumior dan sekarang Indonesian Idol junior. Anak-anak yang ikut ajang ini tak perlu diragukan lagi kualitas suaranya. Namun seperti yang saya bilang sebelumnya, "kaderisasi" belum berjalan baik. Belum baik karena meskipun pesertanya anak-anak, lagunya banyak yang bukan lagu anak. Mungkin bisa dimaklumi karena semasa hidup mereka jarang sekali atau bahkan tidak pernah sama sekali melihat lagu anak di televisi. Tetapi mau sampai kapan dimaklumi ?

Angin segar lain adalah mulai bermunculan lagi artis-artis yang berlabel artis cilik. Tetapi tak beda jauh, lagu mereka berkisaran cinta, meskipun cinta monyet. Ya memang sih anak-anak, terutama yang sudah mau SMP atau pas SMP sering mengalami cinta monyet tetapi perlu dipikirkan juga bahwa fans-fans dari artis cilik baru ini banyak yang masih berusia di bawah sepuluh tahun.

Untuk masalah pencipta saya tidak tahu bagaimana "kaderisasi"nya, tetapi semoga saja ada mereka yang peduli dan tak lelah mencipta lagu anak.

Kalaupun memang "kaderisasi" ini benar-benar sulit, harapan disematkan pada band-band pop yang kini digandrungi anak-anak. Harapan semacam apa? Harapan bahwa mereka menciptakan lagu yang bertemakan anak, kalaupun tidak ya membuat lagu yang temanya netral, bisa dinyanyikan oleh anak-anak. dengan aman (alias kagak cinta-cintaan melulu). Saya yakin, meskipun tidak bertemakan "dewasa" sebuah lagu bisa tetap terkenal. Apa yang dilakukan Duta dan Eross (Sheila on 7) yang pernah duet bareng Tasya dengan menyanyikan lagu "Jangan Takut Gelap" bisa dicontoh. Atau ingatkah kalian dengan band Air melalui lagu "Bintang" yang ngetop, atau band Wayang dengan lagu "Dongeng" ? Musiknya mungkin tidak "anak-anak" tetapi liriknya netral, bisa dinyanyikan tanpa mikirin cinta-cintaan dan tembak-tembakan.

Optimisme, itulah yang harus tetap tertanam, bahwa suatu saat nanti lagu anak kembali ke tempatnya, keluar dari bawah meja tempatnya bersembunyi. Musik adalah milik semua, tapi tidak semua berkesempatan mendengarkan musik yang sesuai dengan hak mereka. Sesuram apapun nasib lagu-lagu anak jaman sekarang, selama kita Malu Sama Kucing , harapan itu akan selalu ada.



(bonus link salah satu lagu anak, berhubung Rupiah lagi lemah juga :v

https://www.youtube.com/watch?v=3xVeffI9ovQ)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar