Senin, 27 April 2015

Es Teh


(sumber gambar : http://intisari-online.com//media/images/3725_es_teh_pemicu_gangguan_ginjal.jpg)


Kalau anda kebetulan sedang makan di sebuah warung makan/restoran, seberapa sering anda memesan sebuah minuman bernama Es Teh? Yak, saya rasa sebagian besar orang yang saya temui ketika sedang makan di warung/resto pasti memesan Es Teh. entah karena harganya yang biasanya paling murah diantara menu minuman yang lain atau memang karena ada kepuasan tersendiri dalam minum Es Teh sambil atau setelah makan. Apapun alasannya, minumnya Es Teh, kira-kira begitu mengutip salah satu jargon minuman kemasan.

Seiring dengan begitu banyaknya orang yang minum Es Teh, banyak pula artikel-artikel yang menyajikan info serupa : bahwa minum teh (Es Teh) sekejap setelah makan bukanlah hal yang tepat, kurang benar. Mengapa? Karena teh termasuk makanan yang sifatnya inhibitor. Maksud inhibitor sendiri adalah makanan tersebut menghambat penyerapan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, dalam hal ini teh menghambat penyerapan zat besi. Efeknya kekurangan zat besi bisa membuat anemia.

Keabsahan dari hal tersebut silakan bisa anda cek di banyak artikel terpercaya di internet, kalau tidak bisa juga anda tanya langsung ke ahli gizi.

Tapi bukan Es Teh sebagai "Es Teh" yang ingin saya bahas, tetapi Es Teh sebagai sebuah gambaran bahwa sebuah hal yang biasa (nya), kebiasaan, sesuatu yang dibiasakan, dan diterima secara umum belum tentu benar, sebaliknya, sesuatu yang benar, kadangkala susah untuk dibiasakan. Meski masyarakat secara umum mengetahui bahwa yang "biasa" itu salah, tidak lantas membuat ke"biasa"an yang salah tersebut diganti dengan yang benar. Kenyataan yang mungkin pernah anda alami?

Ya, mungkin sulitnya bangsa ini berubah adalah karena kita, masyarakatnya, susah mengubah ke"biasa"an yang salah. Susah menganggapnya sebagai "Salah" dan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kebiasaan dan peri kemudahan atau peri-peri yang lain. Alasannya banyak, dengan mengubah yang "biasa"nya harus mengorbankan biaya lebih, berubah berarti melawan pakem lama, merubah berarti melepaskan kenikmatan dari ke"biasa"an lama, dan alasan-alasan lain yang tak perlu dibuat menjadi artikel "10 Alasan Mengapa Mengubah Kebiasaan Buruk Itu Susah". Contoh sederhananya adalah melanggar lampu merah. Semenjak polantas memperkenalkan timer pada traffic light, bukannya membuat pengendara waspada untuk berhati-hati tetapi malah waspada untuk segera memacu kendaraan sekencang mungkin sebelum lampu kuning yang agak oranye menyala, padahal itu menyalahi aturan. Polisi pun membiarkan ke"biasa"an hal tersebut. Contoh lain adalah masalah sampah, yang sudah tahu kalau sampah plastik tidak baik dibakar tetapi tetap saja dilakukan. Alasannya "lha mau diapakan lagi?".

Saya tidak memungkiri bahwa pribadi ini juga sering menganggap "biasa" hal-hal salah tersebut. Lalu kemudian menyalahkan pihak lain ketika terjadi "bencana" yang diakibatkan ke"biasa"an tersebut. Lah gimana negara ini mau maju kalau ke"biasa"an yang mencerminkan sebuah negara maju saja tidak mau dilaksanakan masyarakatnya? Terkadang kita harus menutup mulut sebentar, mengistirahatkan jari dari kotak bernama HP atau Laptop untuk mengkritik yang biasanya kita kritik, lalu merenung, apakah ke"biasa"an kita selama ini juga tidak pantas untuk dikritik? Ini bukan hanya tentang politik kawan, ini adalah tentang Es Teh, tentang hal remeh temeh yang masih dianggap remeh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar