Jumat, 04 Maret 2016

M(ie) A(yam) H(unter) Journal : Mie Goreng bukan Instan dari Mekaton

Mie tidak dapat dipungkiri lagi merupakan salah satu makanan yang tak pernah absen meramaikan khasanah kuliner di Indonesia. Diyakini lahir pertama dari Tiongkok, mie merambah kemana-mana mengikuti orang-orang Tiongkok yang sukanya juga merantau kemana untuk mencari rezeki. Di Indonesia sendiri olahan mie bermacam-macam tergantung dari daerah dimana ia berasal. Salah satu yang sangat “merakyat” adalah mie ayam.

Ya, setelah cukup lama vakum nulis di blog ini karena inginnya focus skripsi namun apadaya takdir (niat) berkata lain, untuk itu diri ini akan mulai menulis kembali, dan kali ini tentang sesuatu yang diri ini sangat sukai yakni mie ayam.
Boleh dibilang mie ayam adalah makanan sejuta umat di tempat diri ini hidup, yakni di Bantul, salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Betapa tidak, menurut pengamatan yang kurang akademis selama 4 tahun terakhir, diri ini menyimpulkan bahwa mie ayam menjadi usaha yang banyak dilirik oleh sebagian masyarakat Bantul yang ingin memulai usaha, apalagi bagi mereka yang domisilinya di pinggir jalan di Bantul yang selalu dilewati kaum kaum proletar maupun pelajar dengan uang jajan mepet. Tak jarang, layaknya persaingan romantic Indomaret vs Alfamart dimana keduanya susah dipisahkan (jaraknya selalu berdekatan), mudah pula ditemui warung mie ayam beda merek yang jaraknya cuma 50 meter.

Tentu saja ini menyebabkan banyaknya varian rasa mie ayam di daerah diri ini tinggal yang menggoda untuk dicoba satu-satu. Namun setelah intro cukup panjang tersebut, diri ini akan memulai food blogging edisi perdana special mie ayam ini dengan mie yang berasal dari kabupaten “sebelah”, yakni Sleman. Lho kenapa Sleman? Karena tidak semua tindakan butuh alasan (?)
Namanya Mie Ayam Mekaton. Spesialis mie ayam goreng. Cukup banyaknya review positif mengenai mie ayam ini di internet membuat diri ini selaku Mie Ayam Hunter penasaran. Lokasinya sekitar 30 km dari Bantul, tepatnya silakan cek disini ( Lokasi Mie Ayam Mekaton) . Lokasinya berada di pinggir jalan jadi cukup mudah ditemukan (karena rame juga). Menurut beberapa review di internet, warung ini buka dari jam 09.00 / 10.00 WIB sampai habis (dan kelihatannya cepat habisnya.. hahaha). Jadi tentukan sendiri kapan sekiranya anda-anda sekalian ingin berkunjung.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mie ayam goreng adalah yang special disini yang otomatis menjadi primadona, meski mie ayam kuah juga disediakan. Warung ini dalam pandangan saya adalah “warung mie ayam sesungguhnya”, karena makanan yang dijual disini ya hanya mie ayam, tidak seperti warung mie ayam kebanyakan yang memadukan dengan bakso bahkan dimadu lagi dengan soto, bahkan ada pula yang sama sate :v. Tipe warung yang fokus (hanya jual mie ayam saja) biasanya mempunyai cita rasa yang khas dan kuat, sehingga memiliki pelanggan setia. Ambil contoh mie ayam Tumini (Giwangan) yang konon katanya mampu menjual 1000 mangkok sehari (catatan : terakhir diri ini kesana hanya jual mie ayam saja, entah bagaimana sekarang).

Saat datang pertama kali cukup kaget karena semua mja benar-benar penuh pelanggan. Sempat khawatir pula pelayanannya akan lama mengingat banyaknya pelanggan, namun ternyata hal tersebut tidak terjadi. Sekitar 6-7 pekerja yang ada di dapur menjadi alasannya. Agaknya warung ini sudah mengantisipasi jumlah pelanggan, hal ini jelas patut diapresiasi. Para pekerja pun mencatat dengan baik setiap pesanan (well tidak semua mie ayam “pinggir jalan” melakukan hal ini, kebanyakan memorizing) sehingga tidak ada yang terlewatkan.

Suasana Mie Ayam Mekaton yang penuh pengunjung



 Diri ini akhirnya memutuskan untuk memesan 1 mie ayam goreng dan air putih (salah satu trik saya untuk mengukur tingkat “kebaikan” suatu warung). Wujud mie ayam ini layaknya doktrinasi Indomie Goreng, bahwa mie goreng ya harus coklat kehitaman, pakai kecap hahaha. Tampilannya mirip seperti mie ayam goreng kebanyakan, mie, ayam, dan sayur hijau, serta taburan. Untuk mie yang dipakai adalah mie sedang-besar, potongan ayam dadu-kasar, sayur hijaunya berbeda yakni sawi putih, ketika kebanyakan menggunakan sawi hijau (kalian) dan taburannya bukan potongan daun bawang selayaknya mie ayam wonogiri tetapi bawang merah goreng dan bawang putih goreng. Perfect topping combination !. Baunya menjadi sangat harum, very good fist impression!. Pertama diri ini mencoba mienya. Manis gurih! Itulah rasa yang muncul ketika mengunyah mie nya. Untuk tekstur sendiri menurut lidah diri ini, 80 % aldente, kalau merebusnya agak lebih lama sedikit pasti akan pas. Ayam menjadi target selanjutnya, dan lagi, manis menjadi rasa yang muncul. Teksturnya pun empuk, oishi !. Untuk sawinya sendiri agak sedikit overcooked tapi tak apalah. Dan ketika memakan semuanya bersamaan, lidah mendapat rasa manis gurih namun tidak terlalu kuat. Ya bisa dikategorikan mie ayam goreng ini rasanya manis “ringan”. Perpaduan bawang merah-putih goreng memberikan aroma yang lezat !

Penampakan Mie Ayam Gorengnya


Untuk penunjang mie ayam, selayaknya yang lain, anda akan menemui sambal, kecap, saos, dan kerupuk. Juga ada ceker dan kepala ayam pula disini. Namun diri ini hanya mencoba sambal dan kecapnya saja. Sambalnya sendiri adalah sambal matang dengan cukup banyak minyak,dan ketika dicicipi, lagi-lagi rasa manis yang saya dapat, meskipun setelah itu muncul sensasi pedasnya. Dimakan bersamaan dengan mie membuat cita rasa baru yang tidak terlalu merusak rasa mie meski bumbu mie terasa “ringan”. Akan tetapi memang, minyak sambalnya membuat lidah kurang nyaman. Lalu untuk kecapnya sendiri, diri ini berpendapat inilah rahasia rasa dari mie ayam goreng Mekaton. Kecapnya kental, berarti tidak ditambah air (beberapa warung menambahkan air ke kecap agar kuantitasnya bertambah dan dengan kata lain, irit). Rasa kecap pun hampir mirip dengan rasa manis gurih pada mie ayam. Jadi bagi anda yang suka manis dan merasa rasa manis mie kurang nendang,kecap ini adalah solusinya !

Sambal Pedas Manis yang menjadi pelengkap

Selesai makan, uang yang harus dikeluarkan untuk mie ayam goreng + air putih adalah Rp.9.500, dengan rincian mie ayam goreng Rp.9.000 dan air putih Rp.500. Untuk menu lain yakni mie ayam kuah harganya sama Rp. 9.000 dan minuman (teh/jeruk) 2.000. Parkir motor Rp. 1000. Cukup murah memang, meski tidak dapat dipungkiri popularitasnya membuat harganya berada sedikit diatas kisaran normal (biasanya mie ayam goreng Rp. 8.000).

Setelah mencoba dan merasakan sendiri keunggulan yang banyak ditulis oleh reviewer lain, ada beberapa poin yang diri ini rasa menjadi titik lemah. Pertama adalah jumlah ayamnya. Jika dibandingkan dengan warung lain, di Bantul terutama, jumlah ayamnya sedikit. Tidak heran mengingat popularitasnya membuat si pemilik warung berusaha mendapat keuntungan lebih dengan modal sedikit. Akan tetapi hal ini ditutupi dengan rasa yang memuaskan. Kedua, kebersihan tempat. Ini menjadi problema umum kebanyakan mie ayam pinggir jalan. Banyak lalat yang ditemui ketika diri ini makan di tempat tersebut. Tentu harapannya kedepan bisa bebas lalat layaknya Pringsewu hahaha. Ketiga adalah minyak sambalnya. Pada kasus sambal matang tidak dapat dipungkiri bahwa minyak adalah key ingredient-nya. Namun jumlahnya yang cukup banyak membuat tekstur mie yang sudah kering menjadi klomoh (berminyak-jawa).


Yups, time for scoring dan nilai untuk Mie Ayam Mekaton adalah 85 !! Recommended bingits ! Apalagi bagi kalian yang menyukai rasa manis, mie satu ini pantas jadi acuan !

Senin, 27 April 2015

Es Teh


(sumber gambar : http://intisari-online.com//media/images/3725_es_teh_pemicu_gangguan_ginjal.jpg)


Kalau anda kebetulan sedang makan di sebuah warung makan/restoran, seberapa sering anda memesan sebuah minuman bernama Es Teh? Yak, saya rasa sebagian besar orang yang saya temui ketika sedang makan di warung/resto pasti memesan Es Teh. entah karena harganya yang biasanya paling murah diantara menu minuman yang lain atau memang karena ada kepuasan tersendiri dalam minum Es Teh sambil atau setelah makan. Apapun alasannya, minumnya Es Teh, kira-kira begitu mengutip salah satu jargon minuman kemasan.

Seiring dengan begitu banyaknya orang yang minum Es Teh, banyak pula artikel-artikel yang menyajikan info serupa : bahwa minum teh (Es Teh) sekejap setelah makan bukanlah hal yang tepat, kurang benar. Mengapa? Karena teh termasuk makanan yang sifatnya inhibitor. Maksud inhibitor sendiri adalah makanan tersebut menghambat penyerapan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, dalam hal ini teh menghambat penyerapan zat besi. Efeknya kekurangan zat besi bisa membuat anemia.

Keabsahan dari hal tersebut silakan bisa anda cek di banyak artikel terpercaya di internet, kalau tidak bisa juga anda tanya langsung ke ahli gizi.

Tapi bukan Es Teh sebagai "Es Teh" yang ingin saya bahas, tetapi Es Teh sebagai sebuah gambaran bahwa sebuah hal yang biasa (nya), kebiasaan, sesuatu yang dibiasakan, dan diterima secara umum belum tentu benar, sebaliknya, sesuatu yang benar, kadangkala susah untuk dibiasakan. Meski masyarakat secara umum mengetahui bahwa yang "biasa" itu salah, tidak lantas membuat ke"biasa"an yang salah tersebut diganti dengan yang benar. Kenyataan yang mungkin pernah anda alami?

Ya, mungkin sulitnya bangsa ini berubah adalah karena kita, masyarakatnya, susah mengubah ke"biasa"an yang salah. Susah menganggapnya sebagai "Salah" dan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kebiasaan dan peri kemudahan atau peri-peri yang lain. Alasannya banyak, dengan mengubah yang "biasa"nya harus mengorbankan biaya lebih, berubah berarti melawan pakem lama, merubah berarti melepaskan kenikmatan dari ke"biasa"an lama, dan alasan-alasan lain yang tak perlu dibuat menjadi artikel "10 Alasan Mengapa Mengubah Kebiasaan Buruk Itu Susah". Contoh sederhananya adalah melanggar lampu merah. Semenjak polantas memperkenalkan timer pada traffic light, bukannya membuat pengendara waspada untuk berhati-hati tetapi malah waspada untuk segera memacu kendaraan sekencang mungkin sebelum lampu kuning yang agak oranye menyala, padahal itu menyalahi aturan. Polisi pun membiarkan ke"biasa"an hal tersebut. Contoh lain adalah masalah sampah, yang sudah tahu kalau sampah plastik tidak baik dibakar tetapi tetap saja dilakukan. Alasannya "lha mau diapakan lagi?".

Saya tidak memungkiri bahwa pribadi ini juga sering menganggap "biasa" hal-hal salah tersebut. Lalu kemudian menyalahkan pihak lain ketika terjadi "bencana" yang diakibatkan ke"biasa"an tersebut. Lah gimana negara ini mau maju kalau ke"biasa"an yang mencerminkan sebuah negara maju saja tidak mau dilaksanakan masyarakatnya? Terkadang kita harus menutup mulut sebentar, mengistirahatkan jari dari kotak bernama HP atau Laptop untuk mengkritik yang biasanya kita kritik, lalu merenung, apakah ke"biasa"an kita selama ini juga tidak pantas untuk dikritik? Ini bukan hanya tentang politik kawan, ini adalah tentang Es Teh, tentang hal remeh temeh yang masih dianggap remeh.

Senin, 20 April 2015

Membunuh

"...Menurut kamus, kata "bunuh" diartikan menghilangkan atau mencabut nyawa. Ketika ditambahkan imbuhan "me-" menjadi "membunuh" yang kemudian artinya sebuah kegiatan menghilangkan nyawa. Dalam konteks kalimat, "membunuh" adalah suatu predikat yang berarti harus ada subjek dan objek agar menjadi kalimat yang utuh. Misalnya saja "Kucing membunuh tikus", atau "Perampok membunuh pemilik rumah" dan lain-lain.


"Membunuh" menjadi kata yang akhirnya dikaitkan dengan sesuatu yang negatif, karena "membunuh" berarti menghilangkan nyawa dengan alasan yang tidak bisa diterima secara manusiawi. Tetapi apakah "membunuh" memang begitu adanya, tidak manusiawi?

Manusia, menurut kodratnya, dan dipercaya sendiri oleh manusia lain, memiliki dua sifat, baik dan buruk, tinggal mana yang persentasenya lebih banyak. "Membunuh" kemudian dimasukkan ke dalam kelompok sifat buruk, karena menghabisi nyawa sesama manusia itu sulit diterima oleh akal kita, lalu muncullah "hak asasi" , hak yang sudah melekat, dan salah satu hak asasi yang dimiliki manusia adalah hak untuk hidup, dan "membunuh" adalah bentuk pelanggaran terhadap hak tersebut. 


"Manusiawi", menurut kamus berarti bersifat manusia, atau kemanusiaan, yang selama ini selalu diartikan ke arah positif, sehingga unsur-unsur negatif dianggap sebagai pengkhianatan terhadap "manusiawi" itu sendiri. Padahal jika memang "manusiawi" berarti bersifat manusia, bukannya yang negatif juga milik manusia? 

"Membunuh" berarti manusiawi, karena "membunuh" adalah sifat manusia. Atas nama insekuritas, ketidak amanan, terancam (bukan nama makanan), otak kita pasti akan memberikan opsi "menghilangkan ancaman" dan salah satu caranya adalah "membunuh". Misalnya saja ketika ada nyamuk yang menusuk kullit manusia, nyamuk tersebut akan "dibunuh", karena otak manusia menerjemahkan nyamuk sebagai ancaman, ancaman harus disingkirkan, opsi yang dipilih kemudian "membunuh". Ya, ketika berhadapan dengan yang bukan spesiesnya, manusia memang dengan mudah memasukkan dan melaksanakan opsi "membunuh" sebagai upayanya untuk mengamankan diri.

Lalu bagaimana jika satu spesies, sama-sama manusia ? Disinilah manusia menentukan adanya kesepakatan bersama, yang kemudian menjadi hukum. Yang banyak diterima, manusia tidak boleh "membunuh" manusia. Melanggar akan ada sanksi. Atas hukum manusia, sanksinya bisa bermacam-macam. Atas hukum Tuhan, nyawa dibayar nyawa. Begitu yang selama ini kita kenal.

Adanya hukuman adalah bukti bahwa manusia mengakui bahwa "membunuh" adalah nalurinya, yang harus diatur sedemikian rupa. Hingga akhirnya "membunuh" pun terbagi menjadi dua, yakni secara ilegal dan legal. "Membunuh" secara ilegal sudah jelas, tidak sesuai aturan, Asal bacok, asal cekek, asal diracun atau cara lain, baik langsung maupun tidak yang penting nyawa melayang, entah didasari pikiran rasional maupun tidak. Kemudian "membunuh" secara legal berarti "membunuh" yang sudah direstui oleh hukum. Meski legal justru "membunuh" dengan cara seperti ini yang sering mendatangkan perdebatan manusia, yakni antara yang melihat nyawa sebagai milik manusia dengan nyawa yang sebenarnya milik-Nya. Ya, manusia memang kadang berlebihan, mendebatkan sifat buruknya sendiri.

Tetapi baik legal maupun ilegal, akhir dari "membunuh" tetaplah sama, mati, hilang nyawanya. Disaat itu kadang manusia masih tidak menerima akan hilangnya suatu nyawa karena manusia lain. Manusia harusnya saling melindungi, dengan hati dan akal (jika berjalan dengan baik), harusnya mampu "menghilangkan ancaman" tanpa harus "membunuh" manusia lain. Disini kadang manusia sombong, karena pemikiran seperti itu akan menjadi opsi kesekian ketika "ancaman"-nya bukan manusia. Ya, ini pula sifat buruk manusia, egois, mementingkan spesiesnya sendiri, yang dianggap "nyawa" hanyalah yang ada di manusia, sedangkan yang ada di spesies lain diberi pemaknaan berbeda.

Melindungi "nyawa" spesies lain saja tidak bisa bagaimana mau melindungi "nyawa" spesiesmu, wahai manusia?..... "

hanyalah sekelebat pidato yang terpikir, yang mungkin akan disampaikan Takeshi Hirokawa, sesaat setelah melihat anime Parasyte : The Maxim.


(sumber gambar: http://vignette3.wikia.nocookie.net/kiseijuu/images/9/92/Hirokawa_anime.png/revision/latest?cb=20150305184617)

Senin, 13 April 2015

One Piece dan Politik : Cara Sederhana Belajar Hal Serius dari Anime/Manga, part 1


(sumber gambar : https://dwgkfo5b3odmw.cloudfront.net/img/promo_image/one_piece_anime_key_art.jpg)

Bagi kalian yang suka melihat anime atau membaca manga, pasti kenal dengan judul satu ini : One Piece. Yups, karya dari Eichiro Oda ini menjadi salah satu karya fenomenal yang terkenal tidak hanya di Jepang tetapi juga di dunia. Bisa dikatakan One Piece merupakan karya "saingan" dari Dragon Ball, ciptaan Akira Toriyama, yang juga terkenal. Manga (komik) nya sendiri diedarkan secara mingguan dalam majalah Shonen Jump sejak tahun 1997, dan anime series-nya mulai tayang pada 1999.

Bagi yang belum tau, One Piece menceritakan kisah seorang pemuda bernama Monkey D. Luffy yang bercita-cita menjadi Raja Bajak Laut dan mendapatkan"One Piece". "One Piece" ini sendiri merupakan "tinggalan" dari Raja Baja Laut sebelumnya yakni Gol D. Roger, yang sudah mengelana ke semua lautan, hingga pada akhirnya tewas setelah dieksekusi mati di tanah kelahirannya. Luffy kemudian berkelana mencari kru (atau nakama yang bisa juga diartikan teman) kapal untuk mengarungi lautan dan mewujudkan impiannya. Dalam mencari dan mendapatkan kru ini, Luffy berkelana dari pulau ke pulau, dan menemui banyak sekali peristiwa-peristiwa unik, melawan bajak laut lain, atau pemerintah dunia (World Government) dan marinir (angkatan laut). Sejauh Luffy sudah mendapatkan 8 kru dan kelompok bajak lautnya dikenal dengan kelompok "Topi Jerami (Strawhat -Inggris, Mugiwara -Jepang-)

Memadukan unsur petualangan, action, dan juga humor, ditambah dengan pembuatan karakter yang benar-benar berbeda serta orisinil, membuat karya ini begitu enak untuk dinikmati. Apalagi dengan kejeniusan Oda-sensei dalam membuat pertarungan maupun unsur-unsur imajinatif yang simpel namun seolah belum pernah disentuh oleh pembuat cerita lainnya.

Salah satu yang menarik dari One Piece sendiri menurut saya adalah unsur politik yang dimasukkan oleh Oda-sensei dalam cerita. Sederhana memang, namun apa yang ada di dalam One Piece, tidak hanya karakternya saya yang mirip dengan tokoh nyata di dunia, perhelatan politik yang ada di cerita kurang lebih merefleksikan apa yang terjadi di dalam realita. Baik secara keseluruhan alur cerita maupun dalam beberapa arc/saga/sub-cerita dari One Piece itu sendiri. Sekiranya ini beberapa hal terkait politik yang bisa kita pelajari sejauh cerita ini berjalan. (Bagi yang belum baca pemaparan di bawah mengandung spoiler,hati-hati :p)

1. Arabasta (Alabasta) Arc, Konspirasi

Arc ini saya anggap sudah dimulai semenjak Luffy bertemu dengan Putri Vivi Nefertari (Miss Wednesday). Vivi sendiri merupakan seorang putri dari sebuah kerajaan bernama Arabasta/Alabasta (familiar?). Ia melarikan diri dari kerajaannya untuk mengetahui kebenaran dari penyebab perang saudara yang melanda negerinya, yang kemudian diketahui merupakan ulah dari Baroque Works, yang dipimpin oleh Crocodile. Vivi pun bergabung dengan Baroque Works untuk mengetahui rencana dari Crocodile. Namun ia bertemu dengan bajak laut Topi Jerami dan singkat cerita Luffy menyetujui untuk membawa Vivi kembali ke Arabasta dan membantunya menyelesaikan perang yang ada di sana. 

Perang saudara di Arabasta sendiri terjadi karena dalam rentang waktu yang cukup lama hujan tidak turun ke negeri ini. Padahal negeri tersebut merupakan daerah gurun, air menjadi sesuatu yang langka dan hujan menjadi sumber air yang paling dibutuhkan. Warga pun percaya hujan sudah "dicuri" oleh kerajaan, hal ini didasari pada suatu kejadian dimana datang suatu gerobak barang yang membawa bubuk khusus yakni Dance Powder, ke kerajaan. Bubuk ini sendiri adalah bubuk yang bisa mendatangkan hujan buatan apabila dibakar, namun sebenarnya pemerintah dunia melarang penggunaannya. Gerobak pembawa ini tumpah sehingga warga tahu akan keberadaan bubuk ini dan menuntut kerajaan untuk menurunkan hujan kembali, tapi raja menolak karena bubuk itu bukan milik kerajaan sebenarnya. Crocodile ada dibalik semua ini. Ia lah yang menyelundupkan bubuk tersebut dengan bantuan anak buahnya. Provokator dari perang saudara pun beberapa juga merupakan anak buahnya. Tidak hanya itu, ia juga memasukkan anak buahnya ke kedua kubu, kerajaan dan pemberontak sehingga perang bisa berjalan sesuai rencana. Di sisi lain ia dianggap pahlawan oleh warga karena sering menyelamatkan mereka dari perompak maupun penjahat lain. 

Belakangan juga diketahui bahwa tidak munculnya hujan karena kekuatan dari Crocodile ini. Ia merupakan pemakan/pengguna buah setan (buah ajaib yang memberi kekuatan) Suna-Suna no Mi yang membuatnya menjadi manusia pasir (macam Sandman di Spiderman). Buah ini membuatnya bisa menciptakan badai pasir, yang membuat udara lembab mengilang sehingga hujan tidak turun. Usaha Crocodile ini tidak lain adalah upayanya untuk menguasai negeri Arabasta. Cara liciknya ini tidak tercium pemerintah kemungkinan karena posisinya sebagai Shichibukai, yaitu kelompok bajak laut berjumlah 7, yang mendapat otoritas pemerintah dan angkatan laut, dengan kata lain bajak laut yang legal (?). Di akhir cerita, Luffy dan kawan-kawan sebagai protagonis berhasil mengalahkan Crocodile beserta anak buahnya, dan Arabasta pun berhasil mengakhiri perang saudara sekaligus kemarau yang berkepanjangan.

Sesuai namanya, dapat kita asumsikan bahwa cerita ini mengadopsi dari apa yang terjadi di jazirah Arab. Perang saudara berkepanjangan, adanya usaha untuk menguasai daerah ini karena minyak, teori konspirasi dan berbagai permasalahan lain masih menaungi kawasan yang sering disebut dengan Timur Tengah ini. Baru-baru ini, Timur Tengah kembali hangat dengan adanya ISIS (Islamic States of Iraq-Syria) dan juga serangan koalisi beberapa negara Arab untuk memborbardir Yaman. Terlepas dari apakah konspirasi benar-benar terjadi atau tidak, tetapi Oda-sensei mungkin ingin menunjukkan betapa permasalahan politik itu sumbernya tidak hanya dilihat dari satu sudut saja, namun juga dari sumber lain yang tidak pernah diduga sebelumnya. Layaknya Crocodile yang bersembunyi dibawah bayang-bayang Shichibukai, bisa juga apa yang terjadi di Arab dilakukan oleh mereka yang memanfaatkan nama besar negara (yang dianggap) adikuasa, yakni Amerika Serikat. Siapa tahu?

Pembelajaran politik lain yang bisa diambil adalah politik devide et impera. Ingat pelajaran SD? Yak politik devide et impera alias politik memecah belah merupakan strategi yang dilakukan oleh Belanda ketika menjajah Indonesia dahulu. Belanda mengadu domba beberapa kerajaan kecil, atau memecah kerajaan besar agar lebih mudah ditaklukan. Cara seperti ini mempunyai keuntungan yakni korban dari pihak sendiri bisa diminimalisir. Praktek licik ini juga merupakan usaha preventif untuk menghalangi adanya persatuan.

Untuk melawan cara seperti ini dibutuhkan kesadaran bersama akan musuh yang sebenarnya dihadapi. Dalam cerita Arabasta, Oda-sensei memfokuskan pada pentingnya agen/tokoh dalam upaya mengatasi adu domba. Vivi (putri raja), Kohza (pemimpin pemberontakan yang kebetulan juga teman dari Vivi) dan Cobra (raja/ayah Vivi) merupakan tokoh sentral yang difokuskan, mengetahui kebenarannya sehingga berusaha untuk menghentikan perang. Namun celah ini mampu sedikit ditutupi dengan keberadaan mata-mata Baroque Works yang menyusup di kedua kubu. Solusi yang kemudian dihadirkan yakni dengan "menghabisi" otak dari pengadu domba, digambarkan dengan keberhasilan Luffy mengalahkan Crocodile, dilanjutkan dengan kedatangan angkatan laut yang sudah mulai curiga, menangkap Crocodile bersama anak buahnya.

2. Skypiea Arc, Diktator dan Indigenous People

Setelah selesai dengan urusan di Arabasta, Luffy melanjutkan petualangan ke negeri di atas awan, Skypiea. Di negeri ini mereka bertemu denga "Dewa (Kami -Jepang-, God -Inggris, bisa juga diartikan sebagai "Tuhan").  Sebenarnya sebutan "Dewa" ditujukan kepada mereka yang duduk di kursi pemerintahan, namun Oda-sensei memperlihatkan bahwa "Dewa" dalam konteks ini seolah selevel dengan "Tuhan". "Dewa" yang menguasai Skypiea adalah Enel. Ia tinggal di kawasan suci, Upper Yard, yang sebenarnya merupakan pulau di bumi, terlempar ke langit akibat dari knock up steam, yaitu air laut yang memancur ke atas dengan tekanan tinggi akibat dari adanya gua dalam laut yang berisi gas. Upper Yard ini menjadi daerah suci, karena merupakan satu-satunya kawasan bertanah di Skypiea. Kembali ke Enel, ia merupakan "dewa" yang memiliki kekuatan layaknya dewa. Ia pengguna buah setan Goro Goro no Mi yang membuatnya menjadi manusia petir/listrik (Electro di Spiderman, daritadi spiderman melulu hmmm). Kemampuan lainnya adalah Mantra, yang membuatnya bisa merasakan keberadaan yang lain meski jaraknya jauh atau tertutupi objek tertentu. Dalam cerita kemampuan ini lebih digambarkan sebagai kemampuan untuk "mendengar" pikiran, dan Enel mampu melakukannya dalam jarak yang melingkupi seluruh Skypiea. Siapapun yang melawan Enel akan dihukum, dan salah satu hukuman terberatnya adalah mati dengan disambar petir. Karena tidak ada yang mampu menandinginya, kata "Dewa" yang mendekati "Tuhan" yang ditakuti melekat padanya.

Sisi lain cerita, Upper Yard, selama di bumi/daratan mempunyai nama asli Jaya. Pulau ini terdapat suatu kota yang semuanya terbuat dari emas yakni Shandora. Pulau dan kota ini diduduki dan dilindungi oleh suku Shandia, yang akhirnya terusir setelah pulau mereka direbut oleh "Dewa" Skypiea ketika pertama kali tiba di langit (dewanya bukan Enel). Semenjak itu penduduk asli Skypiea bermusuhan dengan Shandia. Di satu sisi penduduk Skypiea sudah menganggap Upper Yard sebagai daerah suci, sedangkan Shandia mempunyai kewajiban untuk melindungi "sesuatu" yang ada di tempat tersebut. 

Luffy dan kawan-kawan pun akhirnya harus menghadapi dewa karena mereka dianggap sebagai kriminal akibat masuk ke Skypiea tanpa membayar retribusi (halah). Bersamaan dengan itu pula suku Shandia melancarkan serangan besar-besaran untuk membunuh Enel dan mengambil kembali Upper Yard. Pertarungan sengit terjadi dan Enel akhirnya mendapat lawan sepadan yakni Luffy. Enel yang begitu kuat dengan kekuatan listriknya tidak mampu mengalahkan Luffy yang merupakan manusia karet, karena dia memakan buah Gomu Gomu no Mi (ingat pelajaran IPA, karet bukan konduktor yang baik untuk listrik). Singkatnya, Enel berhasil dikalahkan namun ia melarikan diri ke Bulan dan Skypiea kembali damai, ditandai dengan bersatunya Skypiea-Shandia.

Kediktatoran dalam politik dunia nyata sudah sering kita lihat contohnya. Mulai dari masa kerajaan masa lalu hingga sekarang ketika negara-negara sudah mulai berdiri. Beberapa diantaranya yang terkenal adalah Adolf Hitler dari Jerman dan Benito Mussolini dari Italia. Di negara kita sendiri, kita juga sempat mengalami masa dimana ketika melawan pemerintah, akan ada "petir yang menyambar". Ya, era Orde Baru sedikit banyak kita merasakan apa yang dirasakan penduduk Skypiea di era Enel. Mungkin bedanya jika Enel jatuh karena bajak laut, sedangkan Soeharto jatuh karena mahasiswa.

Sisi lain dari Skypiea adalah konflik antara penduduk asli dengan pendatang atau penduduk modern dengan penduduk lokal (indigenous people). Agak unik sebenenarnya dalam cerita Skypiea posisi penduduk pendatang justru suku Shandia, yang jika dilihat begitu tradisional dibanding dengan penduduk Skypiea yang sudah modern. Namun yang perlu ditekankan disini adalah konflik yang ada merupakan representasi dari banyak kasus antara penduduk lokal dan juga minoritas lain melawan mayoritas. Perbedaan kepentingan diantara keduanya seringkali menghalangi terjadinya rekonsiliasi. Seringnya penduduk lokal yang hanya ingin mempertahankan tradisi, terhalang ambisi pemerintah yang berkuasa, sehingga memaksa mereka melakukan perlawanan. Dalam cerita Skypiea, suku Shandia ingin merebut kembali kota emas karena memang kewajiban yang diamanatkan mereka adalah melindungi kota itu, Tetapi ini berbenturan dengan kepentingan Enel, yang ingin menggunakan emas tersebut sebagai bahan baku pembuatan kapal terbang untuk menuju ke Bulan. Kasus-kasus semacam ini banyak sekali kita lihat, ketika hak dari penduduk lokal dikorbankan demi ambisi pemerintah, biasanya terkait ekonomi. Seperti yang terjadi di Chili misalnya, ketika suku Mapuche menuntut pemerintah untuk mengembalikan tanah leluhur yang sudah diambil demi memperluas lahan negara. Tuntutan yang tidak mampu dipenuhi secara utuh membuat perlawanan dilancarkan bahkan suku ini sempat dicap sebagai teroris.

Oda-sensei dalam cerita memberikan solusi bahwa untuk mengatasi konflik tersebut dari kedua belah pihak harus sama-sama mengalah, dalam artian sadar bahwa perang tidak membawa manfaat dan persatuan merupakan jalan terbaik. Sikap positif ini dihadirkan dalam kepercayaan jika Upper Yard mulai bernyanyi (lonceng berdering), maka konflik akan berakhir. Dari sini dapat dilihat pentingnya sikap positif dalam menyelesaikan konflik.


3. Water 7-Enies Lobby Arc, Ketakutan Akan Kebenaran Sejarah

Mengapa Crocodile begitu ingin menguasai Arabasta ? Apa "sesuatu" yang harus dilindungi suku Shandia? Bukan minyak, bukan emas tetapi sejarah. Ya, dalam cerita One Piece dikenal adanya Poneglyph, sebuah batu yang sulit dihancurkan, berbentuk kubus, dan di sisi-sisinya terdapat tulisan kuno yang berisi cerita masa lalu. Semacam prasasti jika di Indonesia. Sejarah menjadi salah satu daya tarik terkuat cerita di One Piece, dan Oda-sensei dengan apik menunjukkan betapa sejarah bisa menjatuhkan siapapun, sejarah itu menakutkan !!

Luffy dan kawan-kawan pergi ke Water 7, sebuah pulau mirip kota Venice yang dihuni oleh pengrajin kapal terbaik di dunia. Tujuannya jelas, untuk memperbaiki kapal mereka yang rusak sekaligus mencari kru baru yang mempunyai keahlian sebagai pengrajin kapal. Berbekal emas hasil "merampok" di Upper Yard, Luffy mendatangi Galley-La, satu-satunya perusahaan kapal disana, yang dimiliki oleh walikota Water 7, yakni Iceburg. Walikota ini bukanlah sembarang orang. Tidak hanya karena ia merupakan pengrajin terbaik, ia juga menjadi incaran pemerintah dunia. Alasannya karena ia memiliki cetak biru dari senjata masa lalu (Ancient Weapon) yang didapatkan dari Tom, gurunya, yang merupakan pengrajin kapal pembuat kapal Oro Jackson milik Gol D. Roger. Karena ia menolak memberikan cetak biru tersebut kepada pemerintah, upaya pembunuhan pun dilakukan. Upaya ini dilakukan oleh agen rahasia pemerintah yakni Chiper Pol 9 (CP9) yang menyamar menjadi pekerja Galley-La dengan melakukan seting tertentu memanfaatkan keberadaan kelompok Luffy sekaligus menggunakan salah satu anggotanya, yakni Nico Robin.

Nico Robin merupakan salah satu tokoh sentral dalam arc ini. Robin masuk dalam DPO (daftar pencarian orang) milik pemerintah dunia, dengan tebusan 79 juta bery (mata uang dalam cerita), atau dengan kata lain kriminal kelas kakap. Predikat kriminal sudah didapatnya semenjak umur 8 tahun. Apa yang membuatnya menjadi kriminal di usia sedini itu?

Robin berasal dari Ohara, sebuah pulau yang terkenal dengan orang-orangnya yang sangat peduli akan sejarah. Banyak diantara orang di Ohara menjadi arkeolog, termasuk orang tua Robin. Salah satu misi besar dari arkeolog Ohara adalah memecahkan kebenaran yang tertulis pada Poneglyph, terutama kebenaran tentang Void Century (Era Kekosongan). Tidak ada yang pernah mengetahui apa yang terjadi di era ini karena sejarah dunia yang tertulis dimulai semenjak berdirinya pemerintah dunia. Selain itu Poneglyph juga menulis tentang senjata pemusnah masal dari masa lalu. Atas alasan inilah pemerintah dunia memberikan larangan untuk mempelajari Poneglyph dan akan menghukum siapa saja yang melanggarnya.

Akibat dari aturan itu, arkeolog Ohara mempelajarinya secara diam-diam. Robin, yang ditinggal pergi orang tuanya yang berkelana mencari Poneglyph, berusaha menjadi seorang arkeolog juga sekaligus belajar membaca Poneglyph. Pemerintah mulai mencurigai Ohara dan mulai memeriksa pulau tersebut. Hingga akhirnya diketahui bahwa ada Poneglyph yang sedang dipelajari dan arkeolog mulai mengetahui kebenaran dari sejarah yang ditutupi pemerintah dunia, pulau tersebut pun dibumi hanguskan. Robin berhasil selamat setelah ditolong oleh Saul, mantan Wakil Laksamana Angkatan laut yang membantu membebaskan Olvia, ibu Robin, dan Kuzan, Laksamana Angkatan Laut yang merupakan teman Saul. Robin pun berkelana untuk menghindari pemerintah hingga akhirnya sempat bergabung bersama Crocodile demi bisa membaca Poneglyph.

Kembali ke cerita awal, Robin pun ditangkap oleh CP9 bersamaan dengan Franky, teman dari Iceburg yang diamanahkan untuk mengamankan cetak biru. Mereka di bawa ke Enies Lobby, Pulau Kebijaksanaan. Sebelum nantinya dipenjara, Robin diminta memecahkan misteri dari cetak biru senjata tersebut, karena dialah satu-satunya manusia yang bisa membaca huruf Poneglyph. Singkat cerita Luffy beserta krunya pergi ke Enies Lobby untuk menyelamatkan Robin dan Franky. Momen heroik yang tak terlupakan adalah ketika hendak menyelamatkan Robin, salah satu kru membakar bendera pemerintah dunia. Hingga akhirnya cetak biru dibakar oleh Franky, pertaringan epik terjadi antra kru Topi Jerami melawan agen CP9. Kapal perang angkatan laut pun datang untuk menghancurkan pulau karena kedatangan Luffy dkk. Luffy berhasil menang dan menyelamatkan Robin.

Sejarah, sekalipun sudah terlewati, ia bisa saja merusak yang terjadi sekarang ataupun yang akan terjadi nanti. Kebenaran dari sejarah, selalu mempunyai peluang untuk menudukkan kekuasaan yang berlangsung, apalagi jika kekuasaan tersebut didapatkan dengan cara memanipulasi kebenaran yang ada. Ketakutan bahwa sejarah akan mencoreng nama dari penguasa merupakan kisah nyata yang banyak menjadi kajian politik. Contoh mudah ambil saja dari Indonesia, tentang kebenaran kejadian 1965. Komunisme semenjak itu menjadi musuh Indonesia, dan mereka yang terlibat atau berkaitan, atau dianggap seperti itu, dibunuh. Beberapa orang mencoba melihat sisi lain diluar versi pemerintah mengenai kejadian itu, salah satunya Joshua Oppenheimer. Melalui kedua filmya, yakni Jagal dan Senyap, Joshua mencoba menampilkan sisi lain dari pembantaian massal yang terjadi pada massa itu. Kebenaran yang coba ditunjukkan oleh Joshua jelas mendapat pertentangan. Beberapa acara nonton bareng film tersebut, digrebek oleh oknum tertentu, entah mengatas namakan apa. Kebenaran begitu ditakuti, karena kebenaran akan membawa perubahan, dan bagi sebagian orang kebenaran akan mengancam kenyamanannya, kekuasaannya.  

Dalam cerita One Piece, ketakutan pemerintah akan Poneglyph sebenarnya disebabkan karena di dalamnya tertulis sisi gelap pemerintahan dunia yang selama ini ditutupi. Hipotesis dari ketua arkeolog Ohara, Profesor Clover, cukup menarik, yakni sejarah yang tertulis di Pongelyph ditulis oleh orang yang "kalah", dan mereka menulis itu untuk memberikan kebenaran kepada yang hidup di masa depan, sebagai perlawan terhadap "musuh" mereka di masa lalu. "Musuh" yang sebenarnya. Yang menjadi menarik adalah selama ini kita mendengar bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang "menang". Oda-sensei mencoba memutar pernyataan ini dengan menarik, bahwa sejarah justru ditulis sebagai bentuk perlawanan. Sejarah, menjadi suatu kekuatan yang begitu ditakuti, melebihi senjata pemusnah massal. Mempertahankan rahasia negara terkadang lebih penting daripada mempertahankan sumber daya alam, sumber daya manusia, ataupun hal lain yang tidak berkaitan. Ilmuwan, di satu sisi bisa menjadi teman bagi penguasa, tetapi di satu sisi juga ancaman terbesar yang dapat menjatuhkan. Mari ingat kata-kata paman Ben Parker dari Spiderman, "With great power come great responsibilites", dengan kekuatan yang besar datang pula tanggung jawab yang besar. Di setiap tanggung jawab yang besar, resiko yang ditanggung besar pula.


Mungkin sekian dulu untuk bagian awal dari sisi serius yang bisa kita pelajari dari One Piece. Kekaguman saya terhadap karya ini salah satunya karena begitu kuatnya background intrik politik yang dibawa. Masih ada lagi beberapa kaitan antara One Piece dan politik yang nanti akan disambung ke bagian kedua, sekaligus membahas ide besar Oda-sensei mengenai konsep pemerintahan dunia.








Senin, 30 Maret 2015

Acara Dari Antah Berantah, Roda Mahabarata, Drama Korea dan Telenovela

(sumber gambar : http://www.updatedulu.com/wp-content/uploads/2014/11/Lagu-Opening-Mahabharata.jpg)




Kalian tahu kenapa di era 90-an dan awal 2000-an, acara-acara kartun, anime dan drama-drama luar negeri banyak mengisi televisi swasta Jakarta dibanding sekarang? Alasannya simpel, saat itu televisi swasta baru saja berkembang karena belum lama berdiri, dan uang yang mereka miliki belum cukup untuk memproduksi acara sendiri demi memenuhi sekitar 20 jam waktu tayang. Nah "membeli" tayangan dari luar negeri, yang sudah "lapuk" alias tayangnya sudah lama di negara asalnya, lebih murah dibanding memproduksi acara sendiri.


Nah, televisi swasta berkembang begitu pesat dari segi ekonominya, terutama karena sokongan iklan begitu kuat. Karena itu, mereka mampu memproduksi sendiri acara mereka, terlepas dari kualitasnya yang masih banyak yang kurang. Akibatnya televisi mulai mengurangi acara dari luar dan mengedepankan produk dalam negeri. Di sisi lain,kita pun akan semakin lama melihat iklan dibanding durasi acaranya sendiri.


Tetapi tentunya acara dari luar negeri masih dipakai, terutama yang menghadirkan keuntungan. Namun sekarang roda kembali berputar, yakni ada upaya untuk "menghidupkan" kembali cara lama. Mungkin karena banyak yang menulis di internet tentang "enaknya/bagusnya acara televisi 90-an" dilihat sebagai peluang. Nah cara ini jelas merupakan suatu ajang taruhan sebenarnya, namun ternyata kenyataannya cukup sukses dengan sedikit perubahan. ANTV misalnya menghadirkan kembali nuansa India/Bollywood, yang dulu sempat jaya pula di TPI. Tidak sekedar menghadirkan serial televisinya, ANTV berani menghadirkan langsung ke tanah air pemeran dari serial Mahabarata, yang begitu booming dan menjadikan stasiun televisi milik keluarga Bakrie ini sebagai pesaing yang tak bisa dianggap remeh lagi oleh grup MNC. Shaheer Sheikh dan kawan-kawan menjelma menjadi artis baru yang dielu-elu, bahkan oleh anak-anak SD,"menyaingi" artis nasional.

Di sisi lain sebelum ANTV mendobrak melalui Mahabarata, sebelumnya juga ada upaya dari Indosiar dengan menayangkan drama Korea yang terkenal, yakni "Full House". Dan berhasil. Full House muncul ketika televisi-televisi mulai punya dana untuk memproduksi sinetron sendiri sebenarnya, setelah ada upaya meninggalkan drama-drama India dan Mandarin. Akan tetapi seingat saya, belum ada saingan bagi Indosiar saat itu (benarkan kalau salah). Nah, RCTI, yang menjadi "Rajanya Opera Sabun" setelah Indosiar "lengser" pasca Tersanjung berakhir, juga melirik drama Korea. "Boys Before Flower", saudara dari "Meteor Garden" akhirnya sukses pula. Belum lama tren ini kembali dipakai RCTI nyatanya masih tetap sukses.

Dari daratan Asia Timur lain, yakni Mandarin (Taiwan maupun Tiongkok, meski kebanyakan Taiwan), juga pernah meramaikan jagad drama di televisi swasta kita. Namun sekarang, drama Mandarin agaknya kurang dilirik.

Jauh meninggalkan Asia, dari Amerika Latin kita kenal Telenovela. Untuk telenovela saya anggap cukup komplit. Maksudnya telenovela yang ditayangkan tidak hanya untuk remaja maupun dewasa saja, tetapi juga untuk anak-anak. Masih ingat Rosalinda, Betty La Fea, Amigos, Carita de Angel? Nah yang cukup mengejutkan adalah kemarin siang menjelang sore, ketika iseng pindah saluran ke RCTI (padahal biasanya nonton acara "sehat"nya Trans 7). RCTI mencoba menghadirkan kembali telenovela. Saya tidak tahu apa judulnya, yang jelas ini memperlihatkan upaya televisi ini untuk bertaruh, kembali ke era lama, mungkin juga meniru keberanian ANTV. Padahal pada jam-jam tersebut, RCTI biasanya menayangkan FTV yang saya kira, sudah mendapat tempat di hati remaja-remaja putri yang baru pulang sekolah. Atau bisa saja, ini adalah cara RCTI untuk menghindari persaingan langsung dengan SCTV, yang dengan Kadek Devi-nya tak henti menayangkan FTV dengan judul nyleneh namun ending sama.

Kembali lagi ke Asia, inilah yang banyak dirindukan oleh mereka yang menyebut diri "manusia 90-an", Anime. Saya sendiri juga termasuk ke dalamnya sebenarnya. (mueehehehe). Anime, tidak seperti acara asing yang sudah saya sebutkan, akan cukup sulit kembali ke kejayaannya di televisi swasta Jakarta. Kenapa? Anime lebih menjamah penonton anak-anak atau remaja. Ini berbeda dengan drama yang ditonton juga oleh ibu-ibu. Sedangkan anak-anak atau remaja, kemungkinan besar lebih memilih mengakses anime melalui internet, karena lebih up-to-date. Cukup mustahil bagi televisi kita untuk membeli anime yang baru tayang di Jepang sana. Nah untuk drama, bagi remaja memang mereka biasa mengakses via internet, tetapi bagi ibu-ibu saya yakin sebagian besar masih menikmati tayangan drama lewat televisi. Alasan lain adalah adanya upaya untuk memajukan animasi dari dalam negeri. Mungkin ini dipicu juga dengan suksesnya "Upin Ipin" maupun "BoboiBoy" yang merupakan produk dari negara tetangga, Malaysia. Agar tak kalah, tentunya animator kita harus diberi ruang untuk menampilkan karyanya. Slot waktu yang biasanya untuk anime pun, digunakan untuk produk lokal.


Terlepas dari apakah acara asing ini baik atau tidak, yang jelas acara asing sering dianggap lebih baik dibanding produk dalam negeri. Ini harusnya menjadi acuan agar televisi swasta mampu menciptakan acara yang tidak sekedar cari rating. Ya meskipun ini sulit, saya rasa masih ada sedikit kepedulian dari pemilik maupun pengelola media televisi Jakarta untuk memberikan tayangan edukatif. Boleh dibilang selama jam 13.30 hingga jam 15.00 Trans 7 masih menghasilkan Unyil dkk, harapan itu selalu ada.

Minggu, 29 Maret 2015

Marni-Marno : BBM Naik, Presiden Turun

Pagi itu seperti biasanya, Marni sedang menyeduh teh untuk disajikan ke suaminya, Marno, yang bersiap ke kantor. Teh yang diseduh bukan teh celup, namun bukan itu yang penting. Sambil duduk-duduk di ruang makan, Marno membaca koran pagi. Headline-nya terpampang "Siapkan Dompet Anda, Premium dan Solar naik lagi".

"Ealah pak, BBM e mau naik lagi?", kata Marni sembari meletakkan teh di meja. 

"Iya ki bu, gawat, bapak harus nyari jalan alternatif nih kalau mau kerja", jawab Marno sambil nyruput macam bintang iklan Sariwangi.

"Wee, lha kenapa pak? Biar hemat bensin gitu", balas Marni, yang sekarang memegang sapu.

"Bukan bu, sudah hampir pasti to kalau bapak berangkat kerja lewat jalan itu, Jalan Adisucipto, kan itu macam panggungnya mahasiswa buat demo bu. Lah ini ada berita BBM mau naik ya momen enak bu buat demo, tolak kenaikan BBM turunkan presidennya. Kayaknya yang lagi ngetren sekarang begitu bu", kembali Marno menyeruput teh yang tak terlalu manis itu.

"Iyo e pak, kemarin ibu liat-liat di Facebook juga, banyak temen-temen ibu yang itu, bagi-bagi berita begitu, yang demo menolak BBM naik dan menuntuk presidennya turun. Ada yang membagi artikel gitu pak, yang katanya janji pemerintah masih belum terlaksana. Ibu sih ga baca pak, lha wong pas mau baca kuota internetnya habis, hehehe" tawa Marni sambil mengadahkan tangan, pertanda uang jatah untuk beli pulsa internet harus mendarat dengan segera.

"Ealah, bojoku iki gaul tenan, mainannya Facebook toh. Hahahaha. Tapi kok teman-temanmu di Facebook hebat-hebat ya, membagi-bagi berita yang begitu, peduli berarti sama nasib negara kita, dan ingin membagi masalah agar semua tahu dan memikirkannya bersama", tutur Marno sembari membaca koran, berpura-pura tidak melihat gelagat Marni yang minta pulsa. Untungnya Marni tidak lagi di kantor polisi.

"Teman-teman Marni di Facebook kan kalangan intelektual pak, mereka dulu pas kuliah juga keren-keren begitu kalau ngomong. Ga kayak Marni bisanya senyum-senyum" timpuk Marni, belum menyerah dengan upaya minta pulsanya. "Tetapi pak, apa iya nek BBM naik terus menurunkan presiden itu menyelesaikan masalah? Apa nek janjinya belum terpenuhi lalu kudu diganti? Lah  nanti kalau yang baru cuma bikin janji baru gimana?"

"Tetapi senyummu itu menawan lho Mar, hehehe" rayu Marno yang berhasil menurunkan tangan Marni, "Nah masalah itu mari dilihat secara perlahan-lahan. Bapak memang ndak sepinter temen-temenmu di FB tetapi ini jawaban bapak. Tentunya dalam menyikapi kenaikan BBM ini jangan selalu terfokus pada bagaimana mengganti yang diatas agar ke bawahnya ikut diganti. Demo-demo macam ini kan sudah ada sejak jaman pak SBY dulu to bu. Jadi kalau sekarang masih pakai yang sama ya nggak kreatif ini. Selain presiden, pasti ada faktor-faktor lain yang membuat BBM menjadi naik. Kalau dari koran sih katanya karena Rupiah melemah dan harga minyak cenderung naik. Tetapi lagi-lagi ini dikaitkan sama presiden. Pak Presiden memang menjadi pemangku pemerintahan, eksekutif utamane, tetapi menurunkan presiden yang sekarang dan menggantinya yang baru tentu beresiko mendatangkan permasalahan yang baru juga to bu?"

"Jadi bapak malah lebih dukung presiden begitu?" tanya Marni yang sekarang menari bersama sapunya.

"Bukan masalah dukung tidak mendukung bu, tetapi bapak masih melihat kecenderungan sentralistik dari protes terhadap kenaikan BBM. Maksudnya begini bu, kan dulu reformasi muncul karena keberhasilan menggulingkan presiden, hingga akhirnya mengubah segalanya di negeri ini, kecuali cintaku padamu, hehehe, nah pola semacam ini masih banyak dipakai oleh para pemrotes, yakni turunkan saja sentalnya, poros utamanya, dan dalam ini presiden masih dianggap poros utama tersebut." lanjut Marno.

"Ooooo", angguk Marni.

"Nah masalah kenaikan BBM kan kompleks sebenarnya, faktornya baik dalam maupun luar negeri. Jangan minta bapak buat jelasin, bapak ngomong kayak tadi aja udah pusing. Hahaha. Nah masalah janji, ya namanya janji, apa lagi janji politik ya memang fungsinya buat membuai masyarakat to? Tetapi memang bapak juga berharap janji bisa ditepati, tetapi kan semua butuh waktu. Sama kayak bapak dulu, waktu mau nglamar ibu kan juga ngasih janji-janji to biar ibu terpikat ? Hehehe." celetuk Marno yang mencoba memori indah masa lamaran dulu.

"Eh iya pak, ibu jadi ingat dulu bapak janji mau beliin mobil, mana hayo?" balas Marni sambil mencubit suaminya.

"Lah kan tadi bapak bilang, pemenuhan janji butuh waktu, termasuk beli mobil bu", jawab Marno, lelaki memang selalu pintar membuat alasan.

"Huuu, lha terus pak kalau sampai pak presiden sekarang belum bisa memenuhi janjinya sampai nanti habis masa jabatan hanjuk pye ?"

"Bapak inget dulu pas kuliah diajari yang namanya continuity and changes. Ada keberlanjutan dan juga perubahan. Kalau memang program-program maupun rencana pemerintah yang sekarang bagus, ya memang seharusnya dilanjutkan ke pemerintahan selanjutnya meski sudah ganti presidennya. Tetapi ya kita juga cuma bisa berharap bu, kan pemimpin juga punya gengsinya sendiri. Siapa tahu penggantinya besok malah ga mau melanjutkan program yang dijalankan pemerintahan sekarang. Hahahaha" tutur Marno, yang kemudian tersadar teh nya habis.

"Wealah bojoku iki lho, esuk-esuk wes ngomong ngalor-ngidul, kata-katanya sok intelek kayak redaktor surat kabar wae. Hehehe. Lha terus bagaimana kita menyikapi pak? Opo yo mung terima begitu aja?"tanya Marni.

"Yah bapak juga bingung bu, ya berusaha sebisanya lah memperbaiki diri sendiri dulu, keluarga, lingkungan sekitar baru terus begitu sampai ke tingkat yang lebih luas. Tetap peduli pada masalah bangsa, tetap harus mengkritik namun juga harus introspeksi diri bu, jangan sampai mengritik saja namun tanpa solusi. Bapak juga ga pinter ngasih solusi, tetapi yang jelas bapak mencoba melihat semua permasalahan dari segala sudut pandang. Ya paling tidak dengan naiknya BBM ini, keinginan bapak untuk beli sepeda kan bisa direstui kamu, Mar. Hehehehe", jawab Marno yang sudah siap berangkat ke kantor.

"Eeeee, kalau sepeda ne murah we ra popo. Lha  bapak mintanya yang jutaan itu e, ora ora, paling yo mung nggo alesan ben saben Minggu esuk iso nyawang mbak-mbak jogging !" Marni menaikkan nada bicaranya, sembari memaksa suaminya untuk segera berangkat.

"Inggih dara ayu, duitnya bapak pakai buat beli Pertamax saja !", gerutu Marno, sambil mengegas motornya yang baru dibeli 2 bulan lalu. Untungnya sudah motor injeksi.








(Yang suka cerpen saya ini silahkan merepost, tetapi sertakan sumbernya ya. Hehehehe. Insya Allah pasangan Marni-Marno akan menjadi projek cerita dalam blog saya ini, yang nantinya berisi kegelisahan maupun unek-unek yang diramu dalam bentuk cerpen. Enjoy reading. :) )


Apa salahnya On Time?



sumber gambar : http://www.molecularecologist.com/wp-content/uploads/2015/01/clock.jpg



"Eh nanti kumpul di sini jam 10 ya" atau "mengharap kehadiran saudara pada acara rapat pada pukul 20.00 WIB". Datanglah tepat pada jam itu dan lihatlah apa yang terjadi?


Ini pengalaman pribadi, dan mungkin banyak yang mengalami, hingga berakhir pada pengkhianatan yang sama. Sebagian acara yang mengundang saya atau saya hadiri, mayoritas sulit sekali berjalan tepat waktu sesuai dengan yang tertera pada undangan. Baik yang formal maupun tidak. Menilik kembali jawaban pertanyaan yang terjadi ada beberapa kemungkinan jawaban. Satu, anda adalah peserta pertama yang datang dengan kemungkinan tambahan anda ditemani tuan rumah atau panitia acara, dengan kemungkinan lain harus menunggu dari 10 menit hingga 1 jam sampai acara dimulai. Dua anda disana bersama undangan yang lain namun acara belum dimulai hingga bermenit-menit kemudian. Ketiga anda datang dan acara sudah dimulai. Kemungkinan ketiga sangat hebat namun jarang pula ditemui.

Wajar. Biasa. Tetapi menjengkelkan. Tidak tepat waktu atau disingkat terlambat, atau bahasa gaulnya ngaret, sudah menjadi keseharian yang sering saya dan mungkin kalian-kalian temui dalam kehidupan masyarakat kita. Atas nama toleransi dan kesabaran hal tersebut dengan mudahnya "diterima". Penerimaan akhirnya berujung ke pengkhianatan, dalam artian yang sudah berusaha tepat waktu akhirnya pada pertemuan-pertemuan mengucap kalimat sakti "Ah telat aja, biasanya juga gitu" atau kalimat-kalimat lain yang sekeluarga dengan itu.

Apa salahnya on time? Apa salahnya tepat waktu? Apa ruginya tidak terlambat? Sampai pada tahap jawabannya "lha daripada nunggu" pertanyaan tersebut langsung mudah terbantahkan. Menunggu menjadi hal yang menyebalkan, apalagi menunggu jodoh *eh salah fokus*. Sabar juga mungkin jadi problem orang-orang kita mungkin.

Kita selalu saja mudah mengatakan "Perjuangkan hak manusia" tetapi tidak pernah melihat bahwa hak untuk memanfaatkan waktu dengan baik juga merupakan salah satu hak yang esensial bagi manusia. Saya yakin banyak diantara kita, dan saya sendiri, terlalu fokus pada hak-hak lain hingga hak untuk mengefektifkan tiap detik dari hidup jadi terlupakan. Terlambat, dilihat dari sisi hak adalah pelanggaran. 1 detik saja bisa mengubah hidupmu apalagi terlambat sampai berjam-jam. Sebegitu teganya kah kita menyia-nyiakan 30 menit demi keterlambatan?

Bagi saya sebagai seorang mahasiswa keterlambatan ini memang ngeselin. "Buat apa lo pinter-pinter kuliah tapi on time aja ga bisa?" "Buat apa lo udah kece-kece ngomongin berjuang demi rakyat tapi on time datang rapat aja ga bisa?" "Iya, gue ngerti lo sibuk, tetapi pasti ada mekanisme yang bikin lo ga usah telat, orang kalau ngapel pacar aja bisa diusahain on time, apa pas ngapel juga telat?" Ya, kadang-kadang umpatan-umpatan semacam itu terlintas, bahkan terlontar dengan angin sebagai pendengarnya. 

Alasan untuk tidak tepat waktu biasanya terbagi menjadi 3, "balas dendam"/"biasanya kan ngaret", "lagi ada acara nih", "waduh aku lupa". Alasan pertama dan ketiga adalah alasan yang paling ngeselin. Ini menunjukkan bahwa tidak ada upaya penghormatan baik terhadap acara yang diadakan ataupun hak si pembuat acara agar acaranya dihadiri. Kalau alasannya satu dan tiga sudah jadi kebiasaan, lah ya wajar nanti kalau jadi wakil rakyat mau beli UPS seharga 5 milyar. Alasan kedua bisa sedikit diterima, tetapi kalau sudah menyampaikan izin. Izin berarti ada upaya untuk menghadiri namun ada halangan, ada bentuk rasa hormat disitu. Namun akan lebih baik lagi, jika undangan sudah datang sejak lama dan kebetulan ada acara lain yang hampir bersamaan, tetapkan lah prioritas, yang paling utama hargai dan hormati yang sudah membuat acara !

Sedikit kata-kata akhir, ingatlah kata-kata dari kakek saya "Lebih baik datang kepagian daripada datang tepat waktu". Yups, kakek saya ini bisa dikatakan selalu mencoba untuk hadir 10 menit sebelum acara dimulai. Kakek saya selalu menasehati bahwa kita harus ngajeni (menghormati) orang lain, dan salah satu caranya adalah menghormati waktu yang orang lain sediakan untuk membuat suatu acara. Apa salahnya sih on time, toh kalau kalian memang benar manusia, harusnya kan juga menghormati manusia lain. Kalau orang lain sering terlambat janganlah ditiru. Tidak perlu "balas dendam" ketika menghadiri suatu acara dan ternyata ngaret, tidak perlu kita menerlambatkan diri di kesempatan lain. Sebelum menggugat pemerintah yang telat menepati janji, lah kaliannya sendiri sudah tepat waktu belum dalam segala janji yang kalian buat? Jangan-jangan juga ngaret karena beribu alasan. Lah katanya penerus bangsa, yang akan memperbaiki negeri ini, tetapi sudah bisa ON TIME?!